Minggu, 20 Juni 2010

Indikator Ketaqwaan

Malam minggu 19 Juni 2010 , seperti biasa di mesjid At-Taqwa , kompleks perumahan Parakan Mas Bandung, diadakan kajian terjemah Qur'an per kata, ustadz pembimbing adalah ustadz dadang Abu Hamzah, Ketua DPW Hidayatullah Jawa Barat..

Seperti biasa agendanya adalah :
1. Tilawah
2. Terjemah
3. Kultum dari salah satu peserta
4. Penjelasan dari ayat tilawah dan terjemah diatas.

Pada hari itu peserta yang hadir ternyata lebih sedikit dari biasanya yaitu hanya sepuluh orang..sehingga ayat yang dibahas walaupun cukup panjang tetapi masih bisa diselesaikan dengan baik..

Acara dihentikan ketika adzan Isya dan dilanjutkan kembali pada saat setelahnya. Kultum kali ini yang dibawakan adalah Tanda-tanda taqwa...

Ayat yang dijadikan acuan adalah Surat Ali-Imran ayat 134-135...dalam kultum tersebut di jelaskan bahwa indikator orang yang bertakwa adalah dalam ayat tersebut adalah:
1. memiliki kecerdasan Finansial
2. Memiliki kecerdasan Emosional
3. Memiliki kecerdasan Sosial
4. Memiliki kecerdasan Spiritual

bersambung..kapan-kapan....

Selasa, 15 Juni 2010

Urgensi Mengkaji Sirah Nabawiyah

http://www.dakwatuna.com

Urgensi Mengkaji Sirah Nabawiyah

Oleh: Drs. DH Al Yusni
________________________________

dakwatuna.com – Sirah Nabawiyah merupakan seri perjalanan hidup seorang manusia pilihan yang menjadi parameter hakiki dalam membangun potensi umat. Sehingga, mempelajarinya bukan sekadar untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Melainkan, mengkajinya untuk menarik pelajaran dan menemukan rumusan kesuksesan generasi masa lalu untuk diulang di kehidupan kiwari.

Melalui pemahaman sirah nabawiyah yang tepat, setiap muslim akan mendapatkan gambaran yang utuh dan paripurna tentang hakikat Islam dan terbangun semangatnya untuk merealisasikan nilai-nilai yang didapat dalam kehidupannya saat ini. Apalagi sasaran utama dari kajian sirah adalah mengembalikan semangat juang untuk merebut kembali kejayaan yang pernah dimiliki umat Islam. Secara umum kepentingan kita mengkaji sirah nabawiyah, adalah:

Memahami pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah (fahmu syakhshiyah ar-rasul)

Dengan mengkaji sirah kita dapat memahami celah kehidupan Rasulullah saw. sebagai individu maupun sebagai utusan Allah swt. Sehingga, kita tidak keliru mengenal pribadinya sebagaimana kaum orientalis memandang pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai pribadi manusia biasa.

“Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa Sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al-Ahzab: 45-47).

Mengetahui contoh teladan terbaik dalam menjalani kehidupan ini (ma’rifatush shurati lil mutsulil a’la)

Contoh teladan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini sebagai patokan atau model ideal. Model hidup tersebut akan mudah kita dapati dalam kajian sirah nabawiyah yang menguraikan kepribadian Rasulullah saw. yang penuh pesona dalam semua sisi. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

Dapat memahami turunnya ayat-ayat Allah swt. (al-fahmu ‘an-nuzuli aayatillah)

Mengkaji sirah dapat membantu kita untuk memahami kronologis ayat-ayat yang diturunkan Allah swt. Karena, banyak ayat baru dapat kita mengerti maksudnya setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami Rasulullah saw. atau sikap Rasulullah atas sebuah kejadian. Melalui kajian sirah nabawiyah itu kita dapat menyelami maksud dan suasana saat diturunkan suatu ayat.

Memahami metodologi dakwah dan tarbiyah (fahmu uslubid da’wah wat-tarbiyah)

Kajian sirah juga dapat memperkaya pemahaman dan pengetahuan tentang metodologi pembinaan dan dakwah yang sangat berguna bagi para dai. Rasulullah saw. dalam hidupnya telah berhasil mengarahkan manusia memperoleh kejayaan dengan metode yang beragam yang dapat dipakai dalam rumusan dakwah dan tarbiyah.

Mengetahui peradaban umat Islam masa lalu (ma’rifatul hadharatil islamiyatil madliyah)

Sirah nabawiyah juga dapat menambah khazanah tsaqafah Islamiyah tentang peradaban masa lalu kaum muslimin dalam berbagai aspek. Sebagai gambaran konkret dari sejumlah prinsip dasar Islam yang pernah dialami generasi masa lalu. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110).

Menambah keimanan dan komitmen pada ajaran Islam (tazwidul iman wal intima’i lil islam)

Sebagai salah satu ilmu Islam, diharapkan kajian sirah ini dapat menambah kualitas iman. Dengan mempelajari secara intens perjalanan hidup Rasulullah, diharapkan keyakinan dan komitmen akan nilai-nilai islam orang-orang yang mempelajarinya semakin kuat. Bahkan, mereka mau mengikuti jejak dakwah Rasulullah saw.

Yang paling penting dalam memahami sirah nabawiyah adalah upaya untuk merebut kembali model kepemimpinan umat yang hilang. Kepemimpinan yang dapat memberdayakan umat dan untuk kemajuan mereka. Nabi Musa a.s. membangkitkan kaumnya atas kelesuan berbuat bagi kemajuan bangsa dan negerinya. Sehingga beliau mengingatkan kaumnya atas anugerah nikmat yang diberikan Allah swt. pada mereka tentang tiga model kepemimpinan umat yang pernah ada pada sejarah mereka.

Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.” (Al-Maa-idah: 20).

Jadi, nilai utama yang hendak dibangun kembali dengan kajian sirah nabawiyah adalah semangat berbuat untuk kemajuan bangsa dan umat meraih harga dirinya di hadapan umat-umat yang lain. Lebih dari itu, juga untuk mengembalikan hak kepemimpinan kepada umat Islam, umat nabi pilihan.

Tiga Model Kepemimpinan

Model kepemimpinan umat sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa. Karenanya Islam mengajak umatnya untuk memilikinya kembali agar anugerah nikmat dari Allah swt. dapat berfungsi lagi dan bertambah. Anugerah nikmat tersebut adalah model kepemimpinan umat. Kepemimpinan yang mesti dimiliki umat agar mereka mendapatkan hidup yang lebih baik, adil, sejahtera, dan sentosa. Model kepemimpinan itu ialah:

Kepemimpinan spiritual (zi’amah diiniyah)

Kepemimpinan moral spiritual yang akan memberikan contoh pada umat tentang apa yang perlu diperbuat dan dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga masyarakat tidak terjerumus pada jurang kehancuran moral yang akan membawa kesengsaraan kehidupan bangsa. Kepemimpinan ini menjadi patokan dalam masyarakat yang dicontohkan langsung oleh pimpinan masyarakat untuk menjadi panutan dalam akhlak, ibadah, kesantunan, kedermawanan, perilaku keluhuran, dan lainnya. Kemudian menyerukan pada masyarakat dengan penuh kesabaran agar dapat mengikuti jejak dan langkah perbuatannya. Serta memberikan kesadaran akan pentingnya moral bagi kehidupan berbangsa. Dengan begitu masyarakat tidak lagi mencontoh perilaku kepribadiannya kepada figur-figur yang keliru.

Kepemimpinan politik (zi’amah siyasiyah)

Kepemimpinan politik yang mengatur birokrasi dan administrasi masyarakat dengan mengedepankan pelayanan dan pengabdian. Bukan sebagai pemeras rakyat dan penyengsara umat. Hal ini akan terjadi bila kepemimpinan struktural dipimpin oleh orang-orang shalih yang punya kredibilitas. Kredibilitas mereka diakui untuk memimpin umat lantaran kemampuannya menjalankan fungsi kepemimpinan dengan benar.

Kepemimpinan intelektual (zi’amah ilmiyah)

Kepemimpinan intelektual dapat mencerdaskan kehidupan umat. Kepemimpinan ini dapat diraih bila semangat intelektual kembali menggeliat. Sehingga, menciptakan kecerdasan umat secara massal. Seluruh elemen masyarakat dapat memahami perkembangan zaman serta dapat mengerti alur kehidupan. Dengan itu tidak ada lagi unsur masyarakat yang menjadi obyek penderita dan terus dibodohi atas kebijakan dan sikap orang lain. Dari sana umat ini akan menjadi sokoguru dunia dalam ilmu pengetahuan. Setiap hari selalu muncul hal-hal baru. Setiap waktu ada penemuan baru

“Bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282).

Oleh karena itu, kajian sirah harus menghantarkan orang-orang yang mempelajarinya kepada bangkitnya semangat juang untuk merebut kembali model kepemimpinan umat. Sehingga, umat dapat merasakan kenikmatan dalam hidup yang penuh anugerah. Kehidupan mereka tidak terzhalimi sedikit pun. Bahkan mereka dapat dengan jelas melihat harapan dan obsesinya ke depan. Wallahu ‘alam bishshawaab.

http://www.dakwatuna.com/2007/urgensi-mengkaji-sirah-nabawiyah/

Rabu, 02 Juni 2010

Peradaban Islam: Peradaban Ilmu dan Tulisan

Peradaban Islam: Peradaban Ilmu dan Tulisan
Wednesday, 02 June 2010 18:12
Imam Syafii mengingatkan, “Ilmu itu bagaikan binatang liar, menulis (mencatat) adalah pengikatnya.”

Oleh: Nuim Hidayat*

BANGSA Arab hingga pada masa jahiliah, telah mengapresiasi kegiatan tulis-menulis dan urgensinya. Ketika itu, mereka memasukkan kemampuan menulis sebagai salah satu dari tiga syarat utama seseorang disebut minal kamilin (di antara orang-orang yang sempurna). Ibnu Sa’ad menuturkan, “Orang yang sempurna (al-Kamil) menurut mereka pada masa Jahiliah dan permulaan Islam adalah orang yang dikenal mampu menulis Arab, piawai dalam berenang, dan ahli dalam memanah.”

Rasulullah saw telah mendidik sahabat tentang pentingnya ilmu, dunia tulis menulis, dokumentasi dan lain-lain. Prof. Mustafa Azami misalnya, menyebut Rasulullah mempunyai 65 sekretaris (dalam bukunya Kuttabun Nabi, diterjemahkan GIP dengan judul 65 Sekretaris Nabi). Jumlah tersebut merupakan hasil penelitian sumber kitab-kitab yang ternama, dan manuskrip-manuskrip yang belum ditemukan oleh ulama sebelumnya.

Azami menyatakan bahwa saat meneliti dan menulis kitab itu, ia memperoleh naskah fotokopi dari kitab yang sangat bernilai, yaitu kitab al-Intishar lil Qur’an karya al-Baqilani (w. 403 H). Al-Baqilani mengulas para sekretaris Nabi saw. Ia menyebutkan nama-nama sekretaris Nabi yang sebagian besar telah dikenal oleh para penulis yang lain. Tetapi, sebagian lainnya tidak terdapat di kitab-kitab yang lain. Bahkan, ada beberapa nama dalam kitab tersebut yang tidak kami temukan di kitab-kitab yang beredar dan dikenal mengulas biografi sahabat, seperti kitab Thabaqat Ibni Sa’ad, Usudul Ghabah, al-Ishabah, dan kitab-kitab besar lainnya.

Al-Baqilani berkata, “Nabi saw. mempunyai banyak jamaah yang hebat dan cerdas. Semuanya dikenal sebagai sekretaris beliau, dan berasal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.”

Azami menyebutkan, di antara sekretaris Rasulullah saw antara lain: Zaid bin Tsabit yang ditugaskan untuk menulis surat kepada raja-raja, Ali bin Abi Thalib yang bertugas menulis akad-akad perjanjian, al-Mughirah bin Syu’bah yang menulis kebutuhan-kebutuhan Nabi yang bersifat mendadak, Abdullah ibnul Arqam yang betugas mencatat utang-piutang dan akad lainnya di tengah masyarakat, dan lain-lain.

Guru Besar Universitas Ibnu Saud ini menyatakan, salinan naskah dari surat-surat Nabi saw. yang dikirimkan ke berbagai pihak di seantero penjuru itu juga dipelihara keberadaannya oleh beberapa sahabat. Misalnya Ibnu Abbas, Abu Bakar bin Hazm, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar ibnul Khaththab. Abu Bakar memiliki naskah surat Nabi saw. tentang masalah sedekah. Sementara Umar menyimpan semua naskah tentang akad-akad perjanjian dan kesepakatan yang diambil dari para tokoh terkemuka. Salinan atau copy-an dari surat-surat tersebut sangat berguna mengingat wilayah kekuasaan Islam yang luas.

Peradaban Tulisan

Dalam sirah Nabi, dapat dibaca bahwa belum genap satu tahun Rasulullah saw. tinggal di Madinah, beliau langsung menulis piagam yang dikenal dengan “Undang-Undang Negara Modern,” meminjam istilah beberapa peneliti. Piagam tersebut mengatur hubungan antara kaum Muhajirin (Mekah) bersama kaum Anshar (Madinah) di satu pihak, dan kaum Muslimin bersama kaum Yahudi di pihak lain. Menurut Azami, Madinah menjadi sebuah negara bagi kaum Muslimin. Sebuah negara menuntut adanya tata tertib, fasilitas, dan administrasi yang jelas. Sehingga tumbuh diwan-diwan atau kesekretariatan pada masa Nabi saw.

Tentang tradisi tulis menulis ini, akhirnya Prof. Azami menyimpulkan: ”Ketika Islam datang, jumlah para penulis masih dibilang minim (di kalangan kaum Quraisy hanya terdapat 17 orang -pen). Tetapi, berkat strategi pengajaran yang diterapkan Nabi saw., ilmu pun tersebar luas dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga, jumlah para sahabat yang menulis untuk Nabi ketika itu mencapai enam puluh orang. Dengan merujuk sumber-sumber yang cukup memadai di tengah-tengah kita sekarang ini, kita dapat menggambar grafik yang luas bagi aktivitas tulis-menulis atau administrasi pada masa Nabi saw.”

Mengutip kembali al-Baqilani, Azami menyatakan, “Nabi saw. mempunyai banyak jamaah yang hebat dan cerdas. Semuanya dikenal sebagai sekretaris beliau, dan berasal dari kalangan Muhajirin dan Anshar.”

Azami mengkategorikan sekretaris Rasulullah sebagai berikut :

1. Kelompok yang dikenal sebagai sekretaris yang sering menulis, seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’awiyah bin Abu Sufyan ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.

2. Kelompok sahabat yang ditetapkan sebagai sekretaris, tetapi frekuensi menulisnya tidak sama seperti kelompok pertama. Mereka misalnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Abu Ayyub al-Anshari, dan lain sebagainya, ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.

3. Kelompok sahabat yang nama-namanya tercantum dalam kitab al-Watsa`iqus Siyasiyyah dan kitab-kitab lainnya, tetapi kami tidak menemukan penyebutan nama mereka sebagai sekretaris Nabi saw.. Mereka misalnya Ja’far, al-Abbas, Abdullah bin Abu Bakar ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.

Di antara Sekretaris Nabi dari kalangan Muhajirin, disebutkan: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Arqam, Khalid bin Sa’id, dan lain-lain. Para ahli sejarah menuturkan bahwa Nabi sangat memercayai Khalid, sehingga beliau menyuruhnya untuk mengumpulkan dokumen yang ditulisnya dan surat-surat yang distempelnya. Ia juga sebagai sekretaris Abu Bakar. Sedangkan Umar menugaskannya sebagai pengurus Baitul Maal.

Pada masa permulaan Islam, tempat “berkantor” para sekretaris dinamakan Diwan. Diwan juga dapat diartikan kumpulan lembaran-lembaran dan daftar tulisan yang berisi nama-nama tentara dan para pemberi sedekah. Dari hasil penelitiannya, Azami menyimpulkan ada tiga macam diwan pada masa permulaan Islam, yaitu:

1. Diwanul Insya` (kantor pembuatan surat-surat kenegaraan).

2. Diwanul Jaisy (pusat data personel militer)

3. Diwanul Kharaj/ al-Jibayah (pusat pengelolaan keuangan negara) untuk menginventarisasi pajak yang dikembalikan pada Baitul Maal dan pemberian yang diwajibkan atas setiap muslim.

Mengenai Diwanul Insya`, al-Qalaqsyandi berkata, “Diwan ini (al-Insya`) merupakan diwan yang pertama ada dalam Islam. Diwan ini telah digunakan pada masa Nabi saw.”

Pusat administrasi—dalam formatnya yang sederhana—telah dipergunakan pada masa Nabi saw. Tatkala roda pemerintahan dipegang oleh Sayyidina Umar r.a. dan Daulah Islam telah meluas, maka pengembangan sistem administrasi adalah suatu hal yang sangat penting. Umar r.a. telah menginstruksikan untuk membuat pusat administrasi (diwan) dengan format yang lebih menyeluruh dari format diwan sebelumnya.

Sebagai bukti, Diwanul Insya`(kantor pembuatan surat-surat kenegaraan)—sebagaimana dinyatakan al-Qalaqsyandi—adalah diwan yang pertama kali dibuat dalam Islam. Penggunaannya telah dimulai pada masa Nabi saw.

Berkaitan dengan Diwanul Jaisy (pusat data personel militer), sebuah keterangan dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan, “…dari Hudzaifah r.a., ia berkata, ‘Nabi saw. bersabda, ‘Tulislah bagiku orang yang mengucapkan (ikrar) Islam.’ Maka kami pun menuliskannya sebanyak 1500 orang.”

Di antara indikator yang menunjukkan salah satu kebiasan mereka dalam mencatat orang-orang yang ditentukan keikutsertaannya dalam peperangan, adalah riwayat Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahih al-Bukhari. “…dari Ibnu Abbas, ia mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Seorang laki-laki sungguh tidak boleh menyendiri bersama seorang perempuan. Dan seorang perempuan sungguh tidak boleh melakukan perjalanan kecuali ada mahram yang ikut bersamanya.’ Maka seorang pria berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Apakah aku dicatat untuk ikut dalam peperangan ini dan itu, sementara istriku keluar demi suatu keperluan...’”

Rasululullah saw juga terbiasa menyuruh para sahabat agar segera menjawab surat-surat yang masuk kepada pemerintahan-Nya. Ibnul Qasim meriwayatkan dari Malik, ia berkata, “Telah sampai kepadaku sebuah riwayat, bahwa ada sepucuk surat yang sampai kepada Rasulullah saw., ‘Siapa yang mau menjawab surat ini atas namaku?’ Tanya beliau. Abdullah ibnul Arqam menjawab, ‘Saya.’ Ia pun lekas menulis surat jawaban atas nama Nabi. Kemudian ia membawa surat itu ke hadapan beliau (dan membacakannya). Beliau pun kagum dengan isi surat tersebut lalu meluluskannya.”

Tentang pentingnya menulis ini, Imam Syafii mengingatkan: “Ilmu itu bagaikan binatang liar, menulis (mencatat) adalah pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah bodoh bila Anda memburu seekor kijang, kemudian Anda lepas begitu saja tanpa tali pengikat.”

Kehebatan dalam dunia tulis menulis ini terus berkembang, sehingga generasi sahabat, tabiin, tabiiut tabiin, dan seterusnya berprestasi dalam menjaga keotentikan Al-Qur’an dengan membukukannya, menuliskan Sunnah Rasulullah saw, melahirkan ilmu aj jarh wat ta’dil, ilmu bahasa Arab (sharaf, nahwu dll), ilmu matematika, ilmu fisika, dan lain-lain. Sejarah Islam kemudian mencatat ilmu terus berkembang dan perkembangan buku dalam Islam --apalagi setelah ditemukannya teknologi kertas-- melimpah luar biasa.

Dr Ahmad Amin dalam bukunya yang terkenal “Dhuha Islam“ menyatakan: “Banyak sekali jenis kertas yang terdapat dalam masa pemerintahan kerajaan Abbasiyah, antaranya ialah kertas firaun (mengambil nama orang-orang Firaun di Mesir), kertas sulaimani (mengambil nama Sulaiman bin Rashid, Gubernur Harun al Rashid di Khurasan), kertas jaafari (mengambil nama Jaafar al Barmaky), kertas al talhi (mengambil nama Thalhah bin Hasan). Pada masa tersebut juga terdapat banyak sekali tempat perusahaan kertas, di antaranya ialah di Samarqand, Baghdad, Tihamah, Yaman, Mesir, Damsyik, Tarablus, Humah, Khimath, Mambaj, Maroko, dan juga Andalus. Dalam abad yang kedua Hijrah terdapat perusahaan kertas yang dibuat dari perca-perca kain, kertas jenis ini telah digunakan secara meluas dan dapat menandingi kertas-kertas yang lain.”

Hasil dari wujudnya bahan-bahan kertas serta penulisan ilmu pengetahuan pada masa itu, maka terciptalah buku-buku dan tempat menyimpan buku (perpustakaan). Karena itu, perpustakaan merupakan sumber utama bagi kebudayaan di zaman Abbasiyah.

Ahmad Amin melanjutkan: “Satu perkara yang kita sebutkan di sini bahwa dengan sebab banyaknya kertas yang digunakan sebagai bahan penulisan dan banyaknya buku yang muncul pada masa itu, maka lahirlah pula satu perusahaan yang bernama Wiraqah yaitu perusahaan yang bertugas untuk menyalin, mentashih, serta menjilid buku-buku, dan lain-lain perkara yang berhubung dengan buku. Dengan sebab itu banyak sekali toko Wiraqah dan ia merupakan sumber yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu, karena pemilik toko-toko ini menyalin buku-buku ilmu pengetahuan, kemudian mereka mentashihnya, setelah itu dijilid lalu dijual kepada pembeli. Dengan demikian buku-buku tersebut tersebar luas di seluruh daerah. Mereka yang ingin mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan pula akan mengunjungi toko-toko ini untuk membaca dan mengkaji buku-buku yang terdapat disini.”

Ziauddin Sardar dan MW Davies dalam bukunya berjudul Distorted Imagination menggambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, hampir setara dengan pencapaian peradaban Barat saat ini, baik secara kualitas maupun kuantitas. “Hampir 1000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam,”paparnya. (lihat Republika, 9 September 2008).

Sardar menyatakan bahwa di dunia Islam kali pertama perpustakaan umum berdiri. Peradaban Islam pula yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk meminjam buku. Tak cuma sebatas itu, darul al ilm (perpustakaan) pun menjadi tempat pertemuan dan diskusi. Perpustakaan di era kejayaan Islam juga menjadi sarana pertukaran ilmu antara guru dan murid. Di Baghdad saja saat itu, terdapat sekitar 36 perpustakaan umum, sebelum kota metropolis intelektual itu dihancurkan oleh tentara Mongol.

Penulis adalah peniliti pada INSISTS