Rabu, 26 Desember 2012

Sejak Buya HAMKA, MUI Haramkan Ucapan Selamat Natal


Sejak Buya HAMKA, MUI Haramkan Ucapan Selamat Natal
 
Selasa, 21 Desember 2010 
Hidayatullah.com--Pernyataan yang membolehkan kaum Muslim mengucapkan selamat natal  mendapat kritik pedas Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H. Aminuddin Ya`qub, Pernyataan seperti itu, dianggap basi karena MUI sudah mengatakan larangannya telah lama. 
“Hal seperti itu bukan hal baru. Sudah lama,” kata  H. Aminuddin Ya`qub kepada hidayatullah.com, Selasa (21/12).
Sebagaimana diketahui, belum lama ini, pengurus ICMI Eropa, Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA di sebuah media massa mengatakan bolehnya memberikan ucapan selamat natal bagi kaum Muslim.
 
MUI sendiri, lanjut Aminuddin, sejak masa Buya Hamka telah mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam memberi ucapan selamat natal. “Fatwa haram itu masih berlaku. MUI hingga kini belum merubahnya,” tegasnya.
 
Aminuddin menjelaskan, ucapan selamat natal (tahniah) adalah berkenaan dengan akidah (kenyakinan). Memberi ucapan selamat berarti setidaknya menyakini kebenaran agama tersebut. Padahal, ujar Aminuddin, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah hal itu bisa menodai akidah seseorang.
 
Secara redaksional kata Aminuddin, tidak ada dalil yang mengharamkan hal itu. Tapi, tegasnya, dalam memahami dalil tidak hanya secara teks, lafahz ataupun zhohirnya saja, melainkan juga harus berdasarkan maqasid as-syari’ah. “Jika berkenaan masalah akidah, dalam al-Qur’an maupun hadist sangat banyak mengenai hal itu,” tegasnya.
 
Karena itu, jika dipahami berdasarkan maqasi as-syari’ah, jelas fatwa haram itu sebagai upaya untuk menjaga agama atau hifzuddin. Dan, lanjut Aminuddin, tujuan maqasi as-syari’ah yaitu untuk menjaga lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tapi, dari ke lima hal tersebut, agama harus lebih didahulukan.
 
Aminuddin mencontohkan. Nyawa adalah termasuk hal yang dilindungi. Tapi, jika harus berjihad (perang) karena untuk membela agama, maka agama harus didahulukan ketimbang nyawa.
 
Ucapan selamat natal adalah hubungan sesama manusia. Tapi, efek dari itu adalah merusak akidah. Karena itu, tegas Aminuddin, agama harus didahulukan dari pada urusan manusia. Dalam masalah akidah kita harus tegas. “Lakum dinukum waliyadin”, tegasnya.
 
Jangan kaitkan dengan toleransi
 
Fatwa haram ucapan selamat yang dikeluarkan MUI itu tidap pernah sepi dari kritikan. Banyak media dan pihak yang mengaitkan fatwa itu sebagai perusak toleransi dan disharmoni antarumat beragama.
 
Karena itu, Aminuddin menghimbau agar berbagai pihak tidak melakukan hal itu. “Toleransi dengan beragama berbeda. Jadi, jangan kaitkan antara ucapan selamat dengan toleransi. Toleransi beragama itu, ya, hubungan muamalah bisa antar tetangga dan sebagainya” terangnya.[ans/hidayatullah.com]   

Sejak Buya HAMKA, MUI Haramkan Ucapan Selamat Natal
 
Selasa, 21 Desember 2010 
Hidayatullah.com--Pernyataan yang membolehkan kaum Muslim mengucapkan selamat natal  mendapat kritik pedas Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H. Aminuddin Ya`qub, Pernyataan seperti itu, dianggap basi karena MUI sudah mengatakan larangannya telah lama. 
“Hal seperti itu bukan hal baru. Sudah lama,” kata  H. Aminuddin Ya`qub kepada hidayatullah.com, Selasa (21/12).
Sebagaimana diketahui, belum lama ini, pengurus ICMI Eropa, Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA di sebuah media massa mengatakan bolehnya memberikan ucapan selamat natal bagi kaum Muslim.
 
MUI sendiri, lanjut Aminuddin, sejak masa Buya Hamka telah mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam memberi ucapan selamat natal. “Fatwa haram itu masih berlaku. MUI hingga kini belum merubahnya,” tegasnya.
 
Aminuddin menjelaskan, ucapan selamat natal (tahniah) adalah berkenaan dengan akidah (kenyakinan). Memberi ucapan selamat berarti setidaknya menyakini kebenaran agama tersebut. Padahal, ujar Aminuddin, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah hal itu bisa menodai akidah seseorang.
 
Secara redaksional kata Aminuddin, tidak ada dalil yang mengharamkan hal itu. Tapi, tegasnya, dalam memahami dalil tidak hanya secara teks, lafahz ataupun zhohirnya saja, melainkan juga harus berdasarkan maqasid as-syari’ah. “Jika berkenaan masalah akidah, dalam al-Qur’an maupun hadist sangat banyak mengenai hal itu,” tegasnya.
 
Karena itu, jika dipahami berdasarkan maqasi as-syari’ah, jelas fatwa haram itu sebagai upaya untuk menjaga agama atau hifzuddin. Dan, lanjut Aminuddin, tujuan maqasi as-syari’ah yaitu untuk menjaga lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tapi, dari ke lima hal tersebut, agama harus lebih didahulukan.
 
Aminuddin mencontohkan. Nyawa adalah termasuk hal yang dilindungi. Tapi, jika harus berjihad (perang) karena untuk membela agama, maka agama harus didahulukan ketimbang nyawa.
 
Ucapan selamat natal adalah hubungan sesama manusia. Tapi, efek dari itu adalah merusak akidah. Karena itu, tegas Aminuddin, agama harus didahulukan dari pada urusan manusia. Dalam masalah akidah kita harus tegas. “Lakum dinukum waliyadin”, tegasnya.
 
Jangan kaitkan dengan toleransi
 
Fatwa haram ucapan selamat yang dikeluarkan MUI itu tidap pernah sepi dari kritikan. Banyak media dan pihak yang mengaitkan fatwa itu sebagai perusak toleransi dan disharmoni antarumat beragama.
 
Karena itu, Aminuddin menghimbau agar berbagai pihak tidak melakukan hal itu. “Toleransi dengan beragama berbeda. Jadi, jangan kaitkan antara ucapan selamat dengan toleransi. Toleransi beragama itu, ya, hubungan muamalah bisa antar tetangga dan sebagainya” terangnya.[ans/hidayatullah.com]   

Tidak ada komentar: