Senin, 30 Mei 2011

MELONCAT MAINSTREAM DAKWAH ?

Sekedar sharing dari tulisan teman sebelah kamar......
disebuah asrama mahasiswa di King saud university
moga manfaat

MELONCAT MAINSTREAM DAKWAH ?
oleh: Muhammad Zulifan*

"Kita adalah korban pemahaman dari pandangan orang-orang yang kita agungkan"

Mungkin kalimat itu tepat untuk menggambarkan kondisi keberjamaahan kita.
Kedirian kita telah sedikit banyak terkonstruk pada satu mainstream tertentu.
Mulai dari hal-hal yang besar semisal paradigma politik sampai hal kecil semisal
ciri fisik.

Ciri fisik atau pemampilan seseorang sering merupakan representasi jamaah (baca:
harokah ) yang ia geluti. Sampai-sampai pilihan panjang celana dan warna baju
bisa menggambarkan seluruh kedirian seseorang, mulai dari prinsip-prinsipnya
tentang fiqh, paradigma dakwah di masyarakat, cara menghishlah negara, hingga
gambaran aktivitas sehari-hari. Tak heran, jika dalam sebuah Universitas Islam,
untuk mengetahui jamaah yang dianut seorang mahasiswa baru, tak usah ditanyakan
kamu ikut jamaah apa? Cukup mengarahkan pandangan mata ke bawah, dan seketika
itu sikap atasnya ditetapkan; Bagian dari kami atau bukan. Kalau begini,
mirip-mirip propaganda AS dengan semboyan " War Agains Terrorisme".

MAINSTREAM ITU…
Fenomena umum, seorang aktivis Hizbut Tahrir senantiasa istiqomah dengan
pemikirannya yang tidak jauh dari satu kata keramat “Khilafah”. Apapun kasusnya,
ujung-ujungnya adalah Khilafah. Ketika ada kasus penjara mewah, komennya
tegakkan khilafah, ada kasus korupsi, komennya tegakkan khilafah, dan mungkin
jika ada percekcokan suami-istri maka mereka akan berkomentar tegakkan khilafah,
itu solusinya.

Lain lagi aktivis ikhwan, mereka lebih suka pada jurus pamungkas “Palestina dan
Yahudi”. Ketika kasus Namru atau flu babi mencuat, mereka berkomentar ini
rekayasa AS dan Yahudi. Ketika Hamas dan Fatah tidak bersatu, dikatakan Fatah
telah bersekongkol dengan Yahudi. Hingga mereka melupakan faktor internal umat
Islam yang sulit bersatu. Yahudi seolah begitu kuatnya hingga bisa melakukan
apapun di dunia ini.

Sedangkan ikhwan salafy, apapun permasalah bangsa ini yang rumit, mau ada
korupsi, kemiskinan, kejahatan, komennya tidak jauh dari : laksanakanlah sunnah,
tinggalkan bid’ah, perkuat aqidah, maka Islam akan tegak dengan sendirinya.
Tidak perlu yang namaya harokah dan tanzim dakwah apalagi sampai ikut
berpolitik. Semua itu adalah bidah. Titik.

BERFIKIR LEBIH KOMPREHENSIF
Fenomena yang terjadi, umat Islam kini lebih menyukai budaya simple dan enggan
berfikir lebih rumit, detail dan komprehensif.
Simplifikasi masalah bangsa pada satu muara; belum tegakkanya khilafah,
menjadikan anggota jamaah tersilap untuk memikirkan hal-hal yang lebih rumit,
akibat pola pikir yang terlalu simple tadi. Ide kreatif menjadi beku karena
adanya semacam chine wall dalam alur berfikir tiap anggota. Bagaimana
berpartisipasi mengihslah negara, ishlah sistem birokrasinya, sistem sistem
politik hingga sistem militernya. Semua itu butuh kajian yang tidak simple. Bila
mereka memberikan solusi, itupun sebatas solusi normatif yang amat sangat sulit
konteks implementasinya ke dalam Indonesia kini. Pemikiran simple inilah yang
mematikan potensi kader.
Ambil contoh zakat. Banyak yang berpandangan bahwa masalah kemiskinan akan
selesai dengan penegakan zakat seperti zaman Khalifah Umar. Padahal bila
ditelisik lebih dalam zakat bukan satu-satunya instrumen pengentas masalah
kemiskinan. Zaman Umar dikenal sebagai zaman penaklukan wilayah di luar
Islam.Disamping Umar dikenal sebagai peletak profesionalisme pengelolaan negara.
Hal itu membuat banyak pemasukan negara yang masuk ke madinah, ibu kota Islam.
Meski demikian pada masa ini pula terjadi paceklik yang menewaskan banyak
penduduk. Karenanya, mengatasi kemiskinan tidak sekedar zakat, tapi di sana
butuh sistem ekonomi multilevel yang tidak simple, terlebih dalam konteks modern
sekarang ini dimana ada globalisasi, FTA, pola produksi, masalah buruh,UMR,
Askes, dll .

Nampaknya untuk ini, HT harus terbuka pada pemikiran bahwa untuk menegakkan
Al-Islam, tidak harus mendirikan negara Islam, tapi, kuasai hukumnya,
undang-undangnya, ekonominya, pendidikannya, birokratnya, militernya, pers
medianya, maka Islam akan tegak dengan sendirinya.

Selanjutnya, pemikiran fatalis yang mengarahkan segala kerusakan di dunia ini
adalah karena rekayasa Yahudi membawa akibat umat tidak dewasa. Aktivis dakwah
kurang berfikir dengan kajian yang lebih luas dan komprehensif. Contoh Kasus
Namru. Saya sepakat bahwa lembaga ini harus hengkang dari bumi Indonesia. Namun,
kajian atasnya jangan hanya berhenti pada statemen bahwa Namru adalah rekayasa
Yahudi dan AS untuk menghancurkan Indonesia. Terbukalah pada sudut pandang lain.
Dari sudut pandang ketarahan nasional misalnya, bahwa sebuah negara (dalam hal
ini AS) wajib melindungi rakyatnya dari segala ancaman. Apalagi sebagai negara
terbuka, AS di kunjungi oleh orang dari seluruh dunia tiap harinya. Menjadi
kewajiban pemerintah untuk mewaspadai virus-virus yang akan membahayakan
negaranya. Karena itu didirikanlah lembaga riset di seluruh dunia. Dan begitulah
juga seharusnya sikap Indonesia ketika menjadi negara super power dan pusat
peradaban dunia nanti.

Masalah Palestina, selalu yang disalahkan Yahudi. Padahal kritik internal sangat
perlu dilakukan. Yang ada, aktivis dakwah lebih banyak fanatic dengan gerakan
Hamas, tanpa mau mengkaji lebih lanjut kelemahan strategi yang selama ini
dilakukannya. Nyatanya, Hamas belum mampu menyatukan gerakan perlawaan
Palestina. Strategi ikut Pemilu dan menangnya Hamas juga tidak berdampak banyak
pada Palestina yang lebih baik. Nyatanya, kini Palestina-- sebagai entitas
muslim-- terpecah. Dengan kondisi terpecah, amat sulit bagi Palestina mendapat
dukungan dunia Internasional.

Lebih fatalis lagi pemikiran yang menganggap semua masalah akan selesai dengan
kita melaksanakan sunnah dan meninggalkan bidah, hingga acuh tak acuh pada
permasalahan umat kontemporer, cukup taat dengan Pemerintah (meskipun tidak
dipilih berdasar prinsip Islam), jangan protes terhadapnya apalagi
berdemonstrasi. Mereka telah lupa bahwa mengishlah negara, berpolitik (termasuk
berperang dan persiapannya ) adalah bagian dari sunnah yang Rasul ajarkan juga.

LONCAT MAINSTREAM, MUNGKINKAH?

Melihat Fenomena di atas, nampaknya sulit bagi anggota jamaah untuk bisa
melampaui pemikiran mainstream jamaah. Ada semacam lingkaran imaginer yang
membatasi. Hal ini merupakan konsekuensi logis berjamaah dengan tuntutan harus
selalu taat pada satu pilihan fiqh, di tengah pilihan fiqh yang lain yang
mungkin dipilih. Pada tataran akar rumput, ketaatan kadang menjadikan potensi
mereka jadi tidak berkembang. Lama-kelamaan, ketaatan yang tidak terkelola
dengan baik, apalagi tidak diimbangi dengan pemahaman atas gerakan yang dinamis,
menimbulkan perpecahan seperti dialami banyak jamaah.

Habbit anggota selama ini yang tidak memungkinkan adanya pandangan yang luas.
Bacaan aktivis HT tidak jauh dari buku karya Taqiyuddin An-Nabhani atau buku
lain tentang khilafah dan Daulah. Sedangkan bacaan ikhwan tidak jauh dari
buku-buku karangan Hasan Al-Banna, Sayid Qutb, Fathi Yakan atau buku-buku ulama
IM lainnya. Sedangkan Salafi setia (dan cenderung fanatik) pada bacaan
karya-karya Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baz. Ditambah forum kajian yang
hanya mengundang ustadz dari harokahnya masing-masing, maka lengkap sudah
faktor untuk menjadikan seseorang tertuju pada fanatisme harokah.

Yang sudah, alur berfikir linear sejalan mainstream harokah ini sering
menjadikan sesorang sulit untuk bersikap terbuka, bahkan yang lebih parah amat
susah untuk menerima pemikiran ataupun sekedar pembahasan dari harokah yang
berbeda.

KHATIMAH..

Bukan hal yang salah untuk setia pada mainstream jamaah, tapi harusnya setiap
anggota tidak menutup diri pada solusi jamaah lain atau malah menyalahkannya.
Adanya cita-cita menegakkan Islam di bumi Indonesia itu tidak cukup dengan alur
berfiir yang simple-simple semacam itu. Perlu kedalaman kajian multidsiplin ilmu
(bio, sosio, psiko, eco, hankam) hingga masyarakat Indonesia mampu mencernanya.
Atau jika tidak, cita-cita itu hanya akan jadi simbol-simbol usang yang kan
ditinggalkan masyarakt Islam sendiri.

Karenanya, sikap terbuka pada tawaran solusi atau ijtihad harokah lain nampaknya
harus dibuka lebar-lebar. Bagaimanapun, tidak ada jamaah yang sempurna.
Masing-masing jamaah punya kelebihan dan kekurangan . Sesekali cobalah berfikir
di luar mainstream harokah masing-masing karena dakwah tak selebar pemahaman
seorang tokoh saja...

* WaSekjend Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI
UI), Koordinator Jaringan Islam Nasional (JIN).

Tidak ada komentar: