Minggu, 23 Januari 2011

LEBIH BAIK BAYAR ZAKAT daripada PAJAK GAYUS

Di saat-saat semangat mendirikan UPZ di lingkungan rumah dan LAZNAS untuk lingkungan tempat saya bekerja...kemudian di saat-saat aktivis Zakat giat mendorong untuk menjadikan Zakat sebagai pengurang Pajak...eeeh..ketemu artikel ini...
Ternyata Pajak yang ada sekarang bertentangan dengan Islam...
LEBIH BAIK BAYAR ZAKAT DARIPADA BAYAR PAJAK...
PAJAK sampai saat ini lebih banyak dikorupnya!!

*Doktor dari Al-Azhar: Pajak Hari Ini Bertentangan dengan Islam*

Kembali kami mengangkat masalah pajak untuk memperluasa wawasan kita tentang
masalah ini dalam timbangan Islam. Menurut kami tulisan ini begitu sangat
penting karena persinggungan kita dengan pajak dalam hampir seluruh
kehidupan kita di negeri ini. Artikel ini ditulis oleh DR. Ahmad Zain
an-Najah, M.A, (alumni dari perguruan tinggi Islam tertua di dunia,
Al-Azhar-Cairo). Artikel dengan judul asli "Hukum Pajak dalam Islam" ini
diulas dengan apik, ringkas, dan jelas menjadikan kita mudah untuk
memahaminya. Selanjutnya kami ucapkan selamat membaca!!

-----------



*Definisi Pajak*



Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat
balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.



Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat
jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
(Wikipedia.org)



Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan *adh-Dharibah* yang j*
ama’*nya adalah *adh-Dharaib*. Ulama–ulama dahulu menyebutnya juga dengan *
al-Muks*. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau *
adh-dharibah* diantaranya adalah:



1/ *al-Jizyah*, yaitu upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada
pemerintahan Islam.



2/ *al-Kharaj*, yaitu pajak bumi yang dimiliki oleh Negara.



3/ *al-Usyr*, yaitu bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke
Negara Islam.



*Pendapat Ulama Tentang Pajak *



Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak
sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam
sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan
kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.



Pendapat Pertama: Pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum
muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini
sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat." (HR. Ibnu Majah, no 1779.
Di dalamnya ada perawi: Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia
adalah dha’if hadist, dan menurut Imam Bukhari: dia tidak cerdas).



Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dzalim dan
semena-mena, diantaranya adalah:



Pertama: Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah
yang dirajam karena berzina, bahwasanya Rasulullah *shallallahu 'alaihi
wasallam* bersabda:



"Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu
telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh
seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." (HR Muslim, no: 3208)



"Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu
telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh
seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." HR. Muslim



Kedua: Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah *shallallahu
'alaihi wasallam* bersabda:



"Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ (HR.
Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishahihkan oleh Imam al Hakim ).



Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang
dibebankan kepada kaum muslim secara dzalim sebagai perbuatan dosa besar,
seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’ hal: 141:



”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang
ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas
jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa)
dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa
oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa)
oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar,
(hukumnya) haram dan fasik.” (



Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam
az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda
an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan
lain-lainnya.



. . . banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum
muslim secara dzalim sebagai perbuatan dosa besar . . .



Pendapat Kedua: membolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang
negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun
harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan
pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali,
Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.



Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais
juga, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain
zakat." (HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi:
Abu Hamzah (Maimun), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadist, dan
menurut Imam Bukhari: dia tidak cerdas)



*Syarat-syarat Pemungutan Pajak*



Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari umat
Islam, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu,
diantaranya adalah sebagai berikut:



Pertama: Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan
maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan
Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh.



Kedua: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari
zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.



Ketiga: Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh
masyarakat.



Keempat: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang-orang kaya
saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga
harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu
atau untuk kepentingan kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau
korupsi.



Kelima: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus
menerus, hanya pada saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting
atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.



Keenam: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya
menghambur-hamburkan uang saja.



Ketujuh: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada
waktu itu saja.



Sebagian besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa yang terjadi
pada zaman Imam Nawawi. Pada waktu itu terjadi penyerangan besar-besaran
pasukan Tartar kepada wilayah-wilayah kaum muslimin, hampir semua wilayah
kaum muslimin telah ditaklukan oleh pasukan Tatar.



Penguasa Syam waktu itu adalah Sultan Zhahir Baibas. Beliau mengajak para
ulama untuk bermusyawarah dalam menghadapi pasukan Tatar, sedang kas yang
ada di Baitul Maal tidak mencukupi untuk biaya perang. Akhirnya mereka
menetapkan bahwa Negara akan memungut pajak kepada rakyat, terutama yang
kaya untuk membantu biaya perang.



Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda
tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata
kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi
Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi, “kenapa
tuan menolak?”



Imam Nawawi berkata: “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba
sahaya dari Amir Banduqdar, Anda tak mempunyai apa–apa, lalu Allah
memberikan kekayaan dan dijadikannya raja, saya dengar Anda memiliki seribu
orang hamba sahaya. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan
andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan.
Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol
saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa
perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.



Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pula sangat marah
kepadanya dan berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi
menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan“. Lalu pergilah ia ke
kampung Nawa di daerah Syam.



Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, ikutan
kami dan sahabat kami.“ Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi
beliau menolak dan berkata: “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir
ada di sana.” Kemudian setelah satu bulan Sultan pun meninggal. (Imam
Suyuti, Husnu al Muhadharah : 2/ 66-67)



*Apakah pajak hari ini sesuai dengan Islam?*



Apakah pajak hari ini sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan
ulama atas? maka jawabannya adalah tidak, hal itu dengan beberapa sebab:



1/ Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang
menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat
kecil.



2/ Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk
kebutuhan darurat, malahan digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat
dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan
sejenisnya. Bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang
diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk
pembiayaan pemilu, pilkada, renovasi rumah DPR, pembelian mobil mewah untuk
anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.



3/ Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.



4/ Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum
diterapkan secara serius.



5/ Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama
dan tokoh masyarakat.



6/ Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber
pendapatan negara yang lain masih banyak, seperti kekayaan alam tidak diolah
dengan baik, bahkan malah diberikan kepada perusahan asing, yang sebenarnya
kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.



*Kesimpulan: Pajak hari tidak sesuai dengan Islam*



*Perbedaan antara Zakat dan Pajak*



Banyak kalangan yang menyamakan secara mutlak antara zakat dan pajak,
padahal sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat menyolok,
diantara perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:



Pertama: (dari sisi nama), zakat berarti: bersih, tumbuh, berkembang, dan
berkah. Sedang pajak berarti: beban atau upeti yang harus dibayarkan.



Kedua: (dari sisi dasar hukum), zakat ditetapkan berdasarkan ayat-ayat Al
Qur'an dan hadist-hadits Rasulullah *shallallahu 'alaihi wasallam* yang
bersifat tegas dan *qath'i*. Orang yang menolak untuk membayarkannya secara
sengaja, wajib diperangi dan sebagian ulama menghukuminya dengan kafir.
Sedangkan pajak, ketetapannya bersifat *ijtihad* para ulama atau bahkan
hanya keputusan dari para pejabat untuk kepentingan negara atau untuk
kepentingan mereka sendiri.



Ketiga: (dari sisi waktu), zakat berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat,
sehingga kewajibannya bersifat tetap dan terus-menerus. Sedangkan pajak,
ketetapannya bersifat sementara, tergantung kepada kebutuhan negara.



Keempat: (dari sisi obyek dan pemanfaatan), zakat kadarnya baku dan tetap
berdasarkan hadist-hadist shahih, dan obyeknya-pun tertentu, tidak semua
barang wajib dizakati, serta pemanfaatan dan penggunaannya tidak boleh
keluar dari delapan golongan yang ditetapkan di dalam QS At-Taubah: 60.
Sedangkan pajak, kadar dan aturan pemungutannya sangat tergantung kepada
aturan yang ditetapkan oleh Negara. Hasil pajakpun bisa digunakan pada
seluruh sektor kehidupan ini, bahkan pada hal-hal yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan kepentingan umum. (PurWD/vo-islam.com/ahmadzain.com)



Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M

Tidak ada komentar: